Kaliharjo, Kaligesing, Purworejo - Bentuk Pendamaian Melalui "Bujo" atas Hal "Menyingsing" yang Tidak Semestinya "Dijo"

 



Memori Hidup M.R.K., 17 Agustus 2024  Setiap orang pasti punya suatu kisah atau cerita, paling tidak dalam satu kalimat, tapi menurut saya tidak cukup dalam satu kalimat, harusnya satu paragraf, oh tidak, mungkin satu halaman buku, atau justru memang tidak ada batasan halamannya, menarik. Saya jadi teringat oleh kalimat Pak Tua Literalis Rusia atau bahkan Negeri Seberang Sana-Sini, yakni bahwa bagaimana kita bisa hidup secara penuh, ketika dalam kehidupan itu sendiri banyak hal menarik, terkait fenomena-fenomena untuk diceritakan, sementara kita tidak punya kisah untuk diceritakan atasnya. Kalimat tersebut layaknya tamparan, bahkan gagasan asumtif bahkan realistis yang saya dengar terkait menjalani hidup. Menimbang pula ketika ada gurauan atau makian masihkah saya seorang manusia, ketika setiap elemen hidup yang pernah saya jalani hingga detik ini hanyalah omong kosong belaka atau tidak bermakna? Lagipula, apa itu artinya menjadi manusia? Mungkin banyak yang mengatakan, oh tentu, itu ketika kita bisa tertawa, sedih, berinteraksi sampai bercinta, berbohong, membangun peradaban, dan sebagainya. Namun, benarkah demikian adanya? Sudahlah anggap saja demikian.

Kepada Yang Terhormat Para Pembaca Kisah atau Pengunjung Sekalian yang Kebetulan Lewat. (terkesan klise untuk dikatakan, mengingat sudah membaca, walau mungkin ada yang melewatkannya juga, yakni pembukaan paragraf pertama di atas tadi, seorang begundal aneh yang mencoba bersikap ramah memberikan salam, meski sengaja terlambat pada paragraf ini...)

Saya secara eksplisit telah menyebutkan salah satu kisah hidup saya, tempat di judul sudah jelas tertera, suatu tempat yang lumayan medioker, bahkan dikatakan mungkin tertinggal daripada wilayah di sekitarnya atau mungkin jauh daripadanya. Saya yang bukan siapa-siapa diberikan kesempatan untuk berkunjung kesana, melihat betapa berbeda, namun juga sama dalam aspek tertentu. Nafas serta nadi yang berproses saling mengisi bahkan mengosongkan diri, menatap betapa senang dan sedih untuk dirasa oleh air mata, sekaligus bibir yang tidak pernah usai mengucap, atau secara ringkas sengaja ditutup rapat, tersisa mata. telinga, dan hidung saja. Lalu bagaimana nasib sang kulit? Saya kira kulit lebih kondisional, pun mirip dengan saya, mencoba belajar dan mencari makna hidup seperti seorang korban kamp konsentrasi yang mencoba berdamai dengan masa lalu atau kondisi, terapi, maju secara optimis, meski tidak tahu juga itu asli atau palsu semestinya untuk disikapi. 

Tidak begitu istimewa disana, namun bagi saya sendiri dan mungkin kalau boleh dibilang secara objektif, pun sama halnya dengan tempat lain demikian, bahkan seorang sastrawan pernah terucap, hal yang kotor itu indah, dan hal indah itu kotor. Klise lagi tampaknya, tapi hal yang tidak istimewa secara paradoksal berubah menjadi lebih dari tidak istimewa itu sendiri, bukan berarti sintesis atas istimewa dan tidak istimewa, namun suatu bentuk penebusan atas fatamorgana hidup yang kurang berarti, atau kurang disyukuri saja, bentuk pendekatan ataraxianistik, namun juga eurekanistik, meninggalkan fase mekanistik yang mencoba holistik namun redusionistik, sangat menggelitik sekali sajak-sajak atau kalimat yang saya tulis ini, bagaikan mencoba mencapai titik. . ? Itukah titik yang ditanyakan? Formalitas tanda tanya beserta kata-kata yang dikalimatkan, serta publikasi memori ini, terima kasih dan maaf atas semuanya, begitulah mungkin.

Kambing, durian, perkebunan, pariwisata, dan sebagainya merupakan elemen menarik dalam memacu adrenalin atau hasrat untuk terus hidup. Membawa saya kepada hawa atau aliran air yang begitu kisruh menuju ketenangan, nir-istimewa namun bagaimanapun juga bentuk daripada realitas yang fana. Ketika dikatakan dialektika terjadi, tidak lepas secara kekeluargaan, satu kalah, dalam suatu aliran air yang murni memurnikan dan membawa kisah yang mirip atau satu, sebut saja J dan J, namun sangat kontras sekali tampaknya. Maksud saya disini, kontras bagaimana hal sesederhana etika atau estetika bahkan kebendaan, keberadaan, kultur, dan sebagainya juga berbeda. Awal dari kemakmuran, begitulah sekiranya arti dari nama indukan tempat ini, diikuti suatu arus air yang berdekatan dengan pepohonan, dan arus tersebut dapat membawa suatu kemakmuran. Hal tersebut mengingatkan saya pada perkataan Pak Tua yang sangat jauh baik waktu, tempat, dan sebagainya di daratan Eropa sana, bahwa segala sesuatu dimulai dari elemen paling lentur, paling berharga, dan sangat dipuja oleh petinju negeri seberang tersebut. 

Urusan etimologis tadi membawa saya kepada suatu pemikiran, kegiatan, bahkan refleksivitas, terkait hal itu tidak sepenuhnya tercermin, tetapi bukan berarti tidak tercermin sama sekali. Justru itulah peluang menarik bagi diri kita, makanya, mungkin sangat menarik mengingat ada manusia di planet biru dan hijau ini yang dikatakan oleh Pak Muda Barat sana hanya layaknya debu di alam semesta, bukan berarti tidak spesial, namun hanya wajar dan berkewajiban saja, seharusnya tepatnya. Manusia dan Alam, suatu dualitas yang patut untuk dibenturkan, mengingat hal itu adalah pekerajaan bagi diri sendiri, bahkan sekitar, sesama, dan tidak atau belum terjamah untuk sesekali beramah tamah kepada tanah yang tampak marah agar seyogyanya tidak marah. 

Maka poin kesempatan itu tampak pada cerminan kemanusiaan yang seharusnya tidak dihilangkan, bahkan dalam bahasa-bahasa keseharian layaknya sandi tertentu punya aturan tersendiri mereka, begitulah kata Pak Tua Jerman yang banting setir kepada bidang yang sangat kuno dan tidak aplikatif, secara umum demikian katanya. Saya berbicara panjang lebar juga tampaknya tidak atau kurang ada yang meminati atau bahkan mengunjungi situs atau tulisan ini, tetapi menarik sekali untuk menulis dan mengungkapkan ekspresi ini ketika makna itu sendiri kabur untuk dibagikan, bahkan untuk sekedar disentuh, apalagi dipunyai, begitulah kata Pak Kelam dari Rumania atau Eropa, Asia, Afrika, Amerika, Australia, dan yang terlupakan dan belum ditemukan.

Tatanan, imajinasi, kebutuhan, pemberdayaan, meraih ketertinggalan infrastruktur, dan sebagainya patut untuk dipertimbangkan atasnya. Sehingga, sampailah saya mem-"bujo"-kan atau buku, ya saya tahu ini bukan buku, tetapi anggap saja demikian yang dijurnalkan. Ketika tempat yang saya kunjungi tersebut tampaknya mulai menyingsing dari berbagai sisi, saya sangat belajar sekali sehingga menyinsingkan diri dan mungkin sekitar saya, meski hanya berapa persen secara eksakta, namun secara rendah atau tinggi, mungkin lebih tidak terukur oleh hal-hal tersebut. Tentu pemahaman seperti itulah, menyebabkan kita kalut dalam kaitan atau untaian batin emosional terkait waktu yang menjadi durasi, dan dorongan hidup yang merupakan hal vital, menjadi tidak berlaku atau perlu lagi untuk dikaji lebih dalam. Mengingat Prancisisasi hal itu sangat merujuk di realitas, bahkan diri kita yang sekian waktu semakin memanjang, tertinggal, bahkan terlupakan oleh waktu. Menangis, tertawa, terlupakan, namun jangan sampai suatu usaha itu dilupakan, meski sangat susah.

Salam saya sekali lagi untuk tempat yang saya kunjungi tersebut, yang tidak secara eksplisit saya sebutkan apa saja aneka ragamnya, tetapi kebudayaan tidak pernah mati, ketika kita manusia hidup, selalu berdinamika, dan kembali lagi, meninggalkan kenangan atau tidak, serta diusaikan saja karena mungkin ini hanyalah hal kurang berguna untuk dibicarakan. Mari menari layaknya suatu pemain, ataupun pengatur ketika suatu hal teratur maupun semestinya kacau, bersenandung, meneliti atau memahami, dan mengerjakan hal-hal yang berguna atau tidak, seterusnya menyalakan atau memadamkannya, namun tetap mau tidak mau, suatu hal kecil tetap dijaga atau dijo, dijogo, go, ayolah dan sebagainya mengisi kehidupan ini.

Terima kasih, maaf, dan ya begitulah akhirnya.

0 Response to "Kaliharjo, Kaligesing, Purworejo - Bentuk Pendamaian Melalui "Bujo" atas Hal "Menyingsing" yang Tidak Semestinya "Dijo""

Post a Comment